Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai tidak ada praktik monopoli penjualan avtur yang disinyalir membuat harga tiket pesawat mahal.
Dia menjelaskan, dalam teori ekonomi, pasar monopoli didefinisikan sebagai kondisi pasar di mana hanya terdapat penjual tunggal yang menguasai pasar. Pada pasar monopoli tidak terdapat barang lain yang sejenis dan tidak terdapat pesaing bagi sebuah perusahaan.
Menurut Komaidi, monopolis akan bertindak sebagai penentu harga atau price-maker dan memiliki fleksibilitas untuk menaikkan atau menurunkan harga dengan cara menentukan jumlah barang yang akan diproduksi.
"Jika mengacu pada ketentuan regulasi dan fakta di lapangan, pasar avtur di dalam negeri dapat dikatakan tidak mengarah pada kondisi monopoli," katanya melalui keterangan tertulis, dikutip Selasa (8/10/2024).
Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti itu mengatakan, kondisi pasar avtur Indonesia tidak sesuai dengan definisi monopoli pada teori ekonomi tersebut.
Hal itu dipertegas melalui ketentuan Pasal 2 Peraturan BPH Migas No.13/P/BPH MIGAS/IV/2008 yang menetapkan bahwa kegiatan usaha penyediaan dan pendistribusian BBM penerbangan terbuka di setiap bandar udara bagi seluruh badan usaha yang memenuhi persyaratan dengan tetap memperhatikan prinsip persaingan sehat, wajar dan transparan.
Baca Juga
Berdasarkan data, saat ini telah terdapat empat pelaku usaha yang memiliki izin niaga avtur di Indonesia yaitu PT Pertamina Patra Niaga, PT AKR Corporindo, PT Dirgantara Petroindo Raya, dan PT Fajar Petro Indo.
"Jika mengacu pada ketentuan regulasi dan fakta bahwa telah terdapat sejumlah pelaku usaha dalam pasar avtur di Indonesia, tidak tepat jika pasar avtur di dalam negeri disebut sebagai monopoli," imbuh Komaidi.
Mencermati permasalahan, data, dan fakta yang ada tersebut, Komaidi mengingatkan para stakeholder pengambil kebijakan sebaiknya sinergi dan duduk bersama untuk mencari solusi atas permasalahan yang ada.
Di sisi lain, para pemangku kepentingan juga perlu menyelidiki lebih dalam apakah tingginya harga tiket pesawat benar-benar karena biaya avtur atau justru akibat 15 komponen biaya yang lainnya. Misalnya, biaya jasa kebandarudaraan, biaya jasa navigasi penerbangan, biaya jasa ground handling penerbangan, dan tarif pajak misalnya yang pada umumnya masih diberlakukan sama untuk penerbangan jarak jauh maupun jarak dekat.
Selain itu, perlu juga diidentifikasi dengan pasti penyebab lesunya industri pariwisata di dalam negeri semata-mata akibat harga tiket penerbangan yang tinggi atau justru karena masih terbatasnya infrastruktur di daerah wisata.
Komaidi menyebut, tingginya harga tiket pesawat bisa juga disebabkan karena sejumlah pungutan tidak resmi di lokasi wisata yang menyebabkan industri pariwisata di dalam negeri secara relatif menjadi lebih mahal.
"Semoga para stakeholder pengambil kebijakan lebih bijaksana, tidak saling menyalahkan di publik tetapi lebih mengutamakan duduk bersama untuk menyelesaikan permasalahan yang ada," ucap Komaidi.
Ia menambahkan bahwa dalam implementasi kebijakan publik, semua tahapan mulai dari perencanaan kebijakan, implementasi, dan evaluasi kebijakan perlu dilakukan dengan cermat agar solusi yang diberikan tidak salah sasaran.
Sebelumnya, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menuding BPH Migas melindungi produsen avtur untuk monopoli penjualan avtur.
Budi mengatakan, pihaknya telah berupaya menyampaikan solusi ke Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan terkait dengan penurunan harga tiket pesawat. Salah satu solusi yang diusulkan adalah menurunkan harga avtur.
Ia menuturkan, berdasarkan rekomendasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bahwa avtur harus multiprovider agar tercipta harga yang kompetitif.
“Saya langsung menunjuk bahwa satu provider membuat harga monopoli. Monopoli itu dilindungi BPH Migas. Saya sudah sampaikan setahun lalu, tetapi dianggap anjing menggonggong kafilah berlalu. Tidak didengar,” kata Budi dalam konferensi pers Kinerja Sektor Transportasi 10 Tahun Pemerintahan Presiden Joko Widodo, Selasa (1/10/2024).